LAMONGAN Reportas INC — Di balik tembok tinggi Lapas Kelas IIB Lamongan, Jalan Sumargo Nomor 19, suasana tampak tenang. Tapi di dalam ruang pemeriksaan, selama dua hari penuh, Jumat–Sabtu (3–4 Oktober 2025), berlangsung sesuatu yang tidak biasa.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan. Mereka tidak datang untuk menengok napi, melainkan memeriksa seorang saksi kunci kasus besar: Moch. Wahyudi, mantan Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten Lamongan tahun 2016–2019.
Wahyudi — kini menjalani masa hukumannya dalam perkara berbeda — diperiksa tanpa pendampingan hukum. Ia duduk sendiri, di hadapan penyidik Bambang Sukoco dan tim, menjawab satu per satu pertanyaan tentang proyek Gedung Pemerintahan Kabupaten Lamongan berlantai tujuh (G7) — proyek megah senilai Rp151 miliar, yang kini berubah menjadi simbol dugaan korupsi berjamaah.
Sebelumnya, Wahyudi tak memenuhi panggilan KPK pada 10 Juli 2025. Surat panggilan ulang bertanggal 23 September 2025 dikirim atas nama Pimpinan KPK Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, u.b. Direktur Penyidikan Asep Guntur Rahayu. Kali ini, tak ada alasan untuk mangkir.
—
Proyek Megah, Anggaran Bengkak, dan Nama-Nama Besar
KPK memeriksa Wahyudi dalam rangkaian penyidikan terhadap sejumlah pejabat dan pihak swasta yang diduga terlibat dalam proyek G7.
Nama-nama yang disebut tidak asing:
Mokh. Sukiman, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK),
Herman Dwi Haryanto, General Manager Divisi Regional 3 PT Brantas Adipraya (Persero),
Ahmad Abdillah, dan
Muhammad Yanuar Marzuki.
Mereka diduga bersama-sama memainkan proyek besar itu, dari penyusunan rencana hingga pelaksanaan pembangunan, dengan berbagai skema yang mengarah pada pelanggaran Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam konstruksi perkara, proyek G7 dibiayai penuh dari APBD Lamongan tahun 2017–2019. Sebuah proyek yang seharusnya menjadi kebanggaan daerah, tapi justru menyisakan jejak penyimpangan anggaran, permainan kontrak, dan tanda tanya besar: siapa sebenarnya yang menikmati uang rakyat itu?
—
Saksi yang Mulai Bicara
Wahyudi — yang dulu menjabat Kepala Dinas saat proyek berjalan — disebut sebagai orang yang tahu banyak.
Sumber internal penegak hukum menyebut, selama dua hari pemeriksaan, Wahyudi memberikan keterangan rinci soal proses perencanaan dan penganggaran proyek G7, serta aliran dana yang diduga tidak semuanya masuk ke pekerjaan fisik.
“Dia kooperatif, tapi terlihat terbebani,” ujar seorang sumber yang mengetahui jalannya pemeriksaan.
Keterangan Wahyudi disebut membuka simpul baru tentang keterlibatan beberapa pihak yang sebelumnya hanya disebut “rekanan proyek”.
—
Peringatan Keras dari KPK
Di akhir pemeriksaan, Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK menegaskan sikap lembaganya.
> “Siapa pun yang mencoba menghalangi penyidikan — secara langsung atau tidak langsung — akan kami tindak,” ujarnya tegas.
KPK mengingatkan, Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 menyebut, upaya menghambat penyidikan perkara korupsi bisa dihukum penjara tiga hingga dua belas tahun, dengan denda Rp150 juta sampai Rp600 juta.
Pernyataan itu bukan sekadar ancaman hukum. Itu pesan keras: tidak ada yang kebal di hadapan kasus G7.
—
Di Balik Gedung Megah, Ada Bayang-Bayang Gelap
Gedung tujuh lantai yang menjulang di jantung Kabupaten Lamongan itu kini menyimpan ironi.
Bangunan yang dulu dijanjikan sebagai pusat pelayanan modern pemerintahan daerah, justru menjadi monumen keserakahan sebagian pejabat yang lupa bahwa uang pembangunan berasal dari rakyat.
Dari balik jeruji, Wahyudi telah bicara.
Kini, publik menunggu — apakah keterangannya akan mengguncang rantai kekuasaan yang selama ini menutup rapat misteri proyek G7 Lamongan.sum#red