MANADO, Reportase INC – Sulawesi Utara,8 September 2025 – Di balik pagar sekolah yang semestinya menjadi tempat mendidik generasi penerus bangsa, dugaan praktik pemerasan justru mencuat. Kepala Sekolah SMP Negeri 10 Paniki, Manado, berinisial VM, tengah menjadi sorotan setelah laporan demi laporan bermunculan terkait penyalahgunaan wewenang dan tindakan yang dinilai menekan para pelaku usaha kantin serta guru-guru di lingkungan sekolah
Tim investigasi mencoba menelusuri lebih dalam praktik-praktik yang disebut telah berlangsung selama kurang lebih tiga tahun berdasarkan keterangan sejumlah narasumber yang meminta identitasnya dirahasiakan karena alasan keamanan.
Skema Pemerasan yang Tersusun Rapi
Sumber internal menyebutkan bahwa setiap hari, para pemilik kantin di lingkungan sekolah dipaksa memberikan jatah makanan satu dus per kantin kepada kepala sekolah. Permintaan tersebut bukan bersifat sukarela atau musiman, tetapi menjadi kebiasaan harian
Lebih jauh, kepsek VM disebut sering menyuruh sekuriti sekolah untuk mengambil uang tunai dari kantin, lalu membeli makanan sesuai dengan selera pribadi sang kepsek. Praktik ini terjadi tanpa kejelasan prosedur dan dianggap sebagai bentuk pemanfaatan jabatan.
Desember: Musim ‘Setoran’ Wajib
Puncaknya terjadi setiap bulan Desember. Dalam rangka menyambut liburan atau perayaan, setiap kantin diminta menyediakan minuman dalam jumlah besar, mulai dari 5 hingga 8 krat per kantin. Permintaan tersebut, menurut para pedagang, sama sekali tidak disertai penggantian biaya
Acara Keluarga Jadi Beban Guru dan Kantin
Yang tak kalah mencengangkan, guru-guru dan pengelola kantin juga diminta menyumbang makanan jika kepala sekolah mengadakan acara keluarga. Satu panstove makanan per kantin disebut sebagai ‘kontribusi wajib’ tanpa ada surat resmi atau keputusan rapat.
Petugas Kebersihan Tidak Digaji Selama 3 Bulan
Ironisnya, di saat kepala sekolah diduga menikmati ‘setoran’ dari berbagai pihak, para petugas kebersihan sekolah justru mengaku tidak menerima gaji selama tiga bulan terakhir. Mereka hanya bisa pasrah karena belum ada penjelasan resmi dari pihak sekolah.
Desakan Publik dan Konsekuensi Hukum
Tidakan seperti ini bukan hanya mencoreng dunia pendidikan, tetapi juga bisa dikategorikan sebagai pemerasan sesuai Pasal 368 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal 9 tahun penjara.
“Kalau benar terbukti, ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi sudah masuk ranah hukum pidana. Kadis Pendidikan Sulut harus segera turun tangan sebelum moral institusi pendidikan ini hancur,” ujar salah seorang Akademisi
Desakan dari masyarakat setempat yang menuntut agar Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Utara segera mencopot Kepala Sekolah VM dari jabatannya dan melakukan audit menyeluruh terhadap pengelolaan keuangan serta kebijakan internal di SMPN 10 Paniki.
Catatan Akhir
Kasus ini menjadi potret suram di tengah upaya pemerintah meningkatkan mutu pendidikan nasional. Ketika institusi pendidikan menjadi ajang kepentingan pribadi, maka nilai-nilai moral, kejujuran, dan integritas ikut dipertaruhkan. Investigasi lebih lanjut dan tindakan tegas menjadi keharusan—demi mengembalikan marwah sekolah sebagai tempat belajar, bukan ladang pemerasan.
(Rosnawati)