MAKASSAR, Reportase INC – Begitu sangat perlu, lebih jauh diketahui sanksi bagi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (“SPBU”) yang melayani pembelian Bahan Bakar Minyak (“BBM”) dengan jerigen dalam jumlah besar, untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu ketentuan hukum mengenai jual beli dan penyimpanan BBM itu sendiri.
Olehnya tujuan pembelian dengan jerigen dalam jumlah besar tersebut, diasumsikan, bahwa pembeli bermaksud hendak melakukan penimbunan atas BBM jenis tertentu.
Hal ini tertuang pada Pasal 18 ayat (2) dan (3) Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, berbunyi: “Badan Usaha dan/atau masyarakat dilarang melakukan penimbunan dan/atau penyimpanan serta penggunaan Jenis BBM Tertentu yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
“Badan Usaha dan/atau masyarakat yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Jenis BBM yang dimaksud tertentu sendiri adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi dan/atau bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari minyak bumi yang telah dicampurkan dengan bahan bakar nabati (Biofuel) sebagai bahan bakar lain dengan jenis, standar dan mutu (spesifikasi), harga, volume, dan konsumen tertentu dan diberikan subsidi. Lebih spesifik lagi, jenis BBM tertentu terdiri atas minyak tanah (Kerosene) dan minyak solar (Gas oil).
Olehnya sangatlah jelas Perpres Nomor 191 Tahun 2014 dan perubahannya secara spesifik melarang penimbunan dan/atau penyimpanan minyak tanah (Kerosene) dan minyak solar (Gas oil).
Di sisi lain, Pasal 53 jo. Pasal 23 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, kemudian mengatur bahwa: “Setiap orang yang melakukan: Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling tinggi Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);
Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda maksimal Rp. 40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah);
Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda maksimal Rp. 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);
Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda maksimal Rp. 30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
Sesuai uraian tersebut, pembeli BBM dengan jerigen dengan jumlah banyak dapat diduga melakukan penyimpanan tanpa izin, sehingga dapat dipidana berdasarkan Pasal 53 huruf c UU 22 Tahun 2001.
Adapun jerat hukum dengan ancaman bagi SPBU yang menjual BBM tersebut, sehingga pembeli dapat melakukan penimbunan atau penyimpanan tanpa izin, dapat dipidana, mengingat Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal tersebut berbunyi:
Sebagai unsur pidana sebagai pembantu kejahatan: mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Berdasarkan uraian tersebut, jika unsur kesengajaan pada pasal tersebut dapat terpenuhi, maka pihak SPBU dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindak pidana pembantuan. Mereka dapat dianggap membantu orang lain melakukan penimbunan dan/atau penyimpanan BBM yang melanggar hukum.
Sebagai referensi buku Hukum Pidana Indonesia Andi Hamzah menerangkan, bahwa ada tiga jenis sengaja, yaitu (hal. 116 – 118): Sengaja sebagai maksud; Sengaja sebagai maksud, apabila pembuat menghendaki akibat perbuatan:
Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian terjadi ketika pembuat yakin, bahwa akibat yang dimaksudkan tidak akan tercapai tanpa terjadinya akibat yang tidak dimaksud: Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi.
Menurut Hazelwinkel-Suringa, sengaja dengan kemungkinan terjadi jika pembuat tetap melakukan yang dikehendakinya walaupun ada kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak diinginkannya terjadi. Andi Hamzah memberikan contoh, apabila seseorang melarikan mobilnya terlalu kencang dan terlintas di benaknya bahwa ada kemungkinan menabrak orang, tetapi tetap percaya diri dan sudah sering melakukannya tanpa kecelakaan dan lalu lintas cukup tertib dan semua orang cukup berhati-hati di tempat ramai tersebut, kemudian ia menabrak orang, maka telah terjadi kesalahan yang disengaja.
Jika pihak SPBU memenuhi salah satu jenis kesengajaan tersebut, maka dapat dipidana atas pembantuan. Sanksinya diatur dalam Pasal 57 KUHP, yang berbunyi: Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.
Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri. Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Pembelian untuk dijual kembali, akan tetapi di sisi lain, jika pembelian dengan jerigen dalam jumlah besar tersebut ditujukan untuk menjual kembali BBM tersebut, Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, mengatur bahwa:
“Pelaku Usaha dapat melakukan kegiatan penyimpanan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu, jika digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau sebagai persediaan Barang untuk didistribusikan”.
Bahan Bakar Minyak (BBM) sendiri tergolong sebagai barang penting, yaitu barang strategis yang berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional. Namun penjualan pada dasarnya tetap perlu diperhatikan ketentuan izin usaha penyimpanan dan niaga BBM dalam UU 22 Tahun 2001.
Menariknya, pemerintah kemudian justru memberi kelonggaran untuk menjual BBM secara eceran di tempat selain yang ditentukan peraturan perundang-undangan, bagi mereka yang memiliki modal minim. Mengenai hal ini, selengkapnya diterangkan dalam artikel Bolehkah Menjual Bensin Eceran di Pinggir Jalan?.
Terkait penyimpanan yang telah diuraikan bahwa salah satu syarat untuk menjadi sub penyalur adalah memiliki sarana penyimpanan dengan kapasitas paling banyak tiga ribu liter dan memenuhi persyaratan teknis keselamatan kerja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan;
Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Sumber Referensi:
Andi Hamzah. Buku Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2017.
( Rosna/red)