BOJONEGORO, Reportase INC – Langkah menyelamatkan peninggalan benda bersejarah menjadi cikal bakal berdirinya Museum 13. Museum ini didirikan oleh Hary Nugroho yang memang sangat konsen pada dunia kepurbakalaan.
Menurut Hary Nugroho, pemilik sekaligus pengelola Museum 13 (baca; satu tiga), adanya fosil di Bojonegoro menunjukkan sejarah panjang kabupaten ini. Museum 13 berada sekitar 20 menit atau 15,1 km dari pusat kota. Tepatnya di SDN II Panjunan, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.
Hary menyulap ruang kelas menjadi layaknya museum atau serupa laboratorium bersejarah. Khusus mengulik paleontologi-ilmu tentang fosil hewan dan tumbuhan.
Hary dikenal sebagai orang yang bersahaja dan sederhana. Saat berkesempatan menemui langsung, Hary sedang mencuci tangannya di ember berbuih sabun. Berjongkok dan tersenyum melihat kedatangan kami. Dia baru saja membersihkan alat peraga pantomim.
Gaya bahasanya santai. Guru kelas III ini mempersilahkan tim publikasi Pemkab Bojonegoro untuk melihat berbagai koleksi fosil mereka. Ada dua etalase kaca berukuran besar dan dua rak sederhana. Semua untuk memajang hasil temuan Hary beserta 13 orang yang tergabung. Jumlah anggota kebetulan sama seperti nama museum.
Penamaan Museum 13, kata Hary memiliki filosofi khusus. Satu (1) merupakan Tuhan Yang Maha Esa. Sementara tiga (3) mengambil proses kehidupan. Di antaranya lahir, hidup, dan mati. Bak ahli Paleontologi, secara komunal ‘nggladak’ di berbagai wilayah di Kabupaten Bojonegoro.
“Nggladak istilah teman-teman saat proses mencari dan penyelamatan fosil purba. Ketertarikan di dunia Paleontologi ini bermula saat dulu mencari bebatuan akik. Saat itulah temuan fosil pertama yaitu fosil gigi dan kaki gajah,” ucapnya.
Hary masih ingat, Museum 13 berdiri sejak 1989. Kini telah berumur 33 tahun sejak penemuan fosil pertama. Berbekal melihat peta geologi, beberapa titik penjelajahan di antaranya Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras dan Kali Gandong di Kecamatan Sugihwaras yang juga merupakan anak kali tertua. Ada juga di Desa Pragelan, Kecamatan Gondang dan Desa Wotanngare, Kecamatan Kalitidu.
“Kendalanya ada pada ‘kolekdol’. Istilah untuk orang yang mengoleksi tapi di-dol (Jawa: dijual). Jadi kalah cepat untuk menyelamatkan penemuan-penemuan bersejarah. Sebab berbicara tentang cagar budaya masih kalah dengan urusan perut karena dijual bebas,” selorohnya.
Temuan demi temuan mereka dapatkan. Terbaru, ada penemuan 79 spesies molusca di Kabupaten Bojonegoro. Sementara di Maret 2022 ini ditemukan fosil Stegodon Trigonochephalus Ivory (gading) berdiameter 42 cm x 9 cm. Penemuan fosil di Desa Ngluyu, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk.
Sedangkan gading bagian femur juga pernah ditemukan di Desa Bareng, kecamatan Ngasem pada 2016 silam. Dengan prakira umur antara 300 ribu hingga 10 ribu tahun. Masih banyak lagi temuan-temuan lain di wilayah Bojonegoro yang sudah tak terhitung lagi.
Pengelolaan museum secara mandiri ini pun mendapat perbantuan konservasi dari Sragen dan Museum Geologi Bandung. Sehingga ilmu baru bagaimana pemetaan lapangan dan observasi bersumber langsung dari ahlinya.
“Kami juga memiliki agenda dengan siswa-siswi untuk terjun langsung praktik. Seperti saat bersama Balai Arkeologi Yogjakarta. Siswa terlibat langsung dalam proses ekskavasi Situs Wotanngare. Atau belajar mengidentifikasi artefak. Kegiatan bersama siswa ini dapat menumbuhkan rasa untuk peduli terhadap peninggalan bersejarah,” tukasnya ( Mad )